Jumat, 31 Januari 2020

Doa Mengendalikan Hawa Nafsu

Doa Mengendalikan Hawa Nafsu
Nabi SAW pernah mengajarkan doa untuk mengendalikan nafsu, doa ini sangat dianjurkan untuk kita baca setiap hari, supaya nafsu yang ada dalam diri kita dapat terkendalikan dan menjadi nafsu yang tenang.
Namun, seperti yang sudah dibahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya, bahwa akhlak dalam berdoa yaitu memulai doa dengan membaca istighfar, Puji Syukur kepada Allah SWT dan solawat kepada Nabi SAW, kemudian menyebutkan doanya. Berikut doa mengendalikan nafsu:
Pertama, membaca doa:
اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا. أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
“Ya Allah, Anugerahilah nafsu dan jiwa kami ketakwaannya, sucikanlah dan bersihkanlah ia (nafsu dan jiwa kami) karena Engkaulah yang terbaik membersihkan dan menyucikan jiwa. Engkau yang mengusai jiwa dan mampu memperbaiki jiwa kami (menuju kehadirat-Mu).”
Kemudian membaca doa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ، وَقَهْرِ الرِّجَالِ
“Ya Allah, kami memohon perlindungan-Mu dari segala yang menyesatkan dan meresahkan serta menyedihkan kami. Kami bermohon kepada-Mu supaya kami terhindar dari lemah dan malas, dari pengecut dan kikir, dan aku berlindung dari lilitan utang dan penindasan para penindas.”
Imam Thabrani meriwayatkan bahwa saat Rasulullah SAW membacakan surat Asy-Syams ayat 7-8:
ونفس وما سواها() فألهمها فجورها وتقواها
Rasulullah SAW kemudian membaca doa yang pertama, yaitu:
اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا. أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
Adapun dalam riwayat Imam Muslim:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْبُخْلِ، وَالْهَرَمِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ، اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا. أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا. اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا
Semoga kita semua senantiasa dikumpulkan dengan orang-orang yang selalu dekat dengan Allah SWT dan menjadi hamba Allah SWT yang dapat mengendalikan nafsu menjadi nafsu yang tenang. Aamiin.

Ramai Virus Corona, Baca Doa Ini Agar Terhindar dari Penyakit Menular!


Ramai Virus Corona, Baca Doa Ini Agar Terhindar dari Penyakit Menular!

Nover Coronavirus adalah virus baru yang menyerang pernafasan. Dikutip dari akun resmi Instagram Kementrian Kesehatan, penyakit ini berasal dari Cina. Dalam rilis tersebut juga dijelaskan bahwa Coronavirus merupakan satu keluarga dengan virus penyebab SARS dan MERS.
Hingga saat ini, virus yang mulai tersebar di salah satu pasar hewan di Wuhan, Cina ini belum ditemukan vaksinnya. Beberapa gejala yang dialami orang yang menderita virus ini adalah demam, batuk-pilek, gangguan pernapasan, sakit tenggorokan, letih lesu.
Ketika ada penyakit yang mudah menular seperti coronavirus saat ini, Rasulullah SAW menganjurkan untuk membaca sebuah doa. Doa ini bisa kita lacak dan temukan dalam beberapa kitab hadis, salah satunya riwayat Abu Daud dari Anas bin Malik berikut:
(Coronavirus) اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَسَيِّئِ الأَسْقَامِ مِثْلَ.
Allahumma inni Audzubika minal barasi wal jununi, wal judzami wa sayi’il asqam, misla (coronavirus).
“Ya Allah aku berlindung kepadamu dari penyakit belang, gila dan kusta, serta penyakit lain yang mengerikan, seperti virus corona.”
Namun demikian, berdoa saja tidaklah cukup, kita juga perlu berusaha untuk menjaga kesehatan kita. Kementrian kesehatan menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan saat ini agar tidak tertular Coronavirus.
Pertama, sering-seringlah cuci tangan menggunakan sabun. Kedua, gunakan masker bila batuk atau pilek. Ketiga, konsumsi gizi yang seimbang serta memperbanyak makanan sayur dan buah. Keempat, hati-hati saat melakukan kontak dengan hewan. Kelima, rajin olahraga dan cukup istirahat. Keenam, hindari konsumsi daging yang tidak dimasak. Ketujuh, bila merasakan batuk, pilek, dan sesak nafas, segera kunjungi fasilitas kesehatan.
Nah, buat kamu yang sedang melakukan perjalanan ke Cina, Kementrian Kesehatan juga menghimbau untuk selalu menggunakan masker, terlebih saat berkumpul dengan kerumunan orang, juga disarankan untuk tidak mengunjungi pasar hewan.
Jika mengalami penyakit pernapasan, baik saat di Cina maupun setelah kembali ke Indonesia, disarankan untuk segera menghubungi petugas medis yang terdekat.
Dalam urusan kesehatan seperti ini, Islam menganjurkan kita untuk seimbang, antara berdoa dan berusaha menjaga kesehatan sesuai anjuran para ahli. (AN)
Wallahu A’lam.

Dua Hal Penting yang Disampaikan Imam Al-Ghazali dalam Karya Terakhirnya

Dua Hal Penting yang Disampaikan Imam Al-Ghazali dalam Karya Terakhirnya

Masa-masa lanjut usia adalah masa puncak kematangan memikirkan tentang perjalanan hidup yang dilalui seseorang. Sebab, saat seseorang berusia lanjut, ia berarti sudah banyak menghabiskan umurnya dalam menjalani manis dan pahit kehidupan. Bila ia seorang intelektual, tentunya ia sudah mengetahui banyak hal. Juga telah mempraktekkan serta membuktikan banyak hal yang diketahuinya. Tak terkecuali Imam al-Ghazali: sosok intelektual Islam terkemuka dalam berbagai bidang.
Imam Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, atau yang lebih dikenal dengan Imam al-Ghazali, dan merupakan penulis kitab Ihya’ Ulumiddin wafat pada tahun 505 H. di usia 55 tahun. Beliau memiliki karya yang amat banyak dan sebagian di antaranya menjadi rujukan oleh para ulama. Baik ulama yang hidup hampir sezaman dengan beliau, maupun zaman sekarang. Entah itu ulama muslim, maupun non-muslim yang ingin banyak belajar tentang Islam. Konon, banyaknya karya al-Ghazali bila dibandingkan dengan sejumlah hari dimana beliau hidup, beliau berarti menulis empat lembar di setiap harinya.
Karya terakhir Imam al-Ghazali adalah kitab berjudul Minhajul Abidin. Kitab ini tidak ditulis beliau langsung, tapi didiktekan kepada murid beliau yang kemudian menuliskannya. Dalam pendahuluan kitab tersebut, sosok bernama Abdul Malik ibn Abdullah menuturkan, bahwa kitab itu didektekan Imam al-Ghazali kepada dirinya dan merupakan karya terakhir Imam al-Ghazali.
Ada beberapa poin penting yang disampaikan Imam al-Ghazali dalam karya terakhirnya tersebut:
Pertama, tujuan hidup manusia serta jalan menuju Allah sebenarnya sudahlah jelas. Hal ini beliau sampaikan dengan ungkapan:
وما خلق الإنس والجن إلا لعبادته ، فالطريق واضح للقاصدين ، والدليل لائح للناظرين
“Dan tidaklah Allah menciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah keepada-Nya. Maka jalan menuju Allah sudahlah jelas bagi yang hendak menuju pada-Nya. Dan petunjuk akan keesaan-Nya sudahlah jelas bagi yang memikirkan akan keesaan-Nya.”
Hal ini, meski sudah dijelaskan oleh al-Qur’an, adalah jawaban dari pertanyaan banyak manusia. Terutama orang yang tidak tumbuh dengan akrab akan ajaran Islam. Sebab susah dan senang, kaya dan miskin, atau rasa bosan akan hidup yang hanya begitu-begitu saja, kadang membuat mereka bertanya-tanya sebenarnya apakah tujuan diciptakannya manusia?
Apakah manusia diciptakan untuk bahagia? Tapi kenapa kadang ada manusia yang hidup kesusahan dan berusaha memperoleh kebahagiaan dengan caranya sendiri, ia selalu gagal? Ada manusia yang ingin bahagia dengan berusaha menjadi kaya. Tapi, ia selalu gagal. Allah memberi tahu bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah. Ibadah memiliki makna luas dan tidak hanya terbatas pada salat, zakat dan haji saja. Tapi, bisa juga dengan sabar serta telaten berbuat baik pada sesama manusia.
Dengan jelasnya tujuan diciptakannya manusia, maka manusia pun tahu bahwa jalan menuju Allah jugalah sudah jelas. Yaitu dengan mempelajari perintah serta larangan Allah. Lalu melaksanakannya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Maka, orang yang semisal mempelajari transaksi jual-beli yang halalkan oleh Allah, kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Entah saat mempelajari ilmu bisnis atau saat praktek bisnis dengan jujur, maka ia sebenarnya sudah menjalani tujuan hidupnya dengan baik.
Kedua, beribadah adalah buah dari ilmu. Hal ini beliau sampaikan dengan ungkapan:
اعلموا إخوانى أسعدكم الله وإيّاى بمرضاته أن العبادة ثمرة العلم ، وفائدة العمر
“Ketahuilah wahai sahabat-sahabatku, semoga Allah memberi dirimu dan aku kebahagiaan berupa ridha-Nya, sesungguhnya ibadah adalah buah dari ilmu dan merupakan hal berguna yang lahir dari umur.”
Ungkapan bahwa ibadah adalah buah dari ilmu mengingatkan bahwa ibadah tidak lepas dari ilmu tentang ibadah tersebut. Misalnya, shalat haruslah dilaksanakan dengan keadaan mengetahui mana shalat yang wajib dan mana yang sunnah, mana bagian shalat yang wajib dan mana yang sunnah, dan mana hal-hal yang harus terpenuhi sebelum masuk shalat dan mana yang tidak. Mengapa harus dengan ilmu? Agar tidak sembarangan dalam beribadah. Sebagian ulama bahkan menyatakan, bahwa setiap orang yang beribadah tanpa mengetahui ilmunya, maka ibadahnya tidak diterima.
Selain itu, orang yang berilmu juga harus mau mengamalkan ilmunya, yaitu dengan beribadah. Sebab, apa arti memiliki sebuah pohon bila tidak berbuah atau tidak memiliki manfaat sama sekali untuk kehidupan akhirat. Ilmu agama memang mulia. Tapi, ilmu agama dipelajari tidak untuk ditumpuk atau dikoleksi bak perhiasan. Melainkan agar manusia dapat beribadah kepada Allah dengan baik dan benar.
Ibadah juga merupakan satu-satunya hal berguna yang dihasilkan oleh umur manusia. Sebab manusia memang diciptakan untuk beribadah, dan ibadah pula yang menjadi bekal di kehidupan akhirat. Hal lain selain ibadah pada hakikatnya tidak memiliki manfaat sama sekali melainkan sekedar sebagai cara meghabiskan umur.

Rabu, 22 Januari 2020

Ngopi dalam Sejarah Islam: Antara Fatwa Ulama dan Telaah Medis

Ngopi adalah bagian integral dalam keseharian banyak orang. Tanpa ngopi, tiada semangat menyongsong hari. Efek minum kopi pada tubuh cepat terasa bagi sekian peminumnya, barangkali termasuk Anda. Kedai-kedai kopi bermunculan, menyediakan suasana dan rasa. Ngopi adalah satu cara terbaik menghibur diri sendiri.


Sebelum kopi menjadi suatu budaya, ia adalah bahan diskusi panjang masyarakat muslim khususnya pada era sebelum abad pertengahan. Sebagaimana dicatat Ralph S. Hattox dalam Coffee and Coffeehouses-The Origins of a Social Beverage in the Medieval Near East, kopi notabene bukanlah minuman yang berasal dari dataran Arab, sehingga ia adalah sesuatu yang baru bagi masyarakat. Sebelum sampai di dataran Arab, kopi sudah banyak diminum orang Yaman, Persia, serta sebagian Afrika. Para peminumnya menyadari bahwa dari biji-bijian hitam yang ditumbuk halus ini, lalu diseduh, tiap seruputnya mampu “mencerahkan” pikiran.
Fisiologi manusia tidak banyak berubah selama ratusan tahun, dan efek minum kopi pada manusia dari zaman kuno hingga kini mirip belaka. Efek semangat dan menghilangkan penat juga kantuk itu dipertanyakan oleh para ulama. Apakah ia meracuni dan menghilangkan akal, sebagaimana arak dan khamar? Efek minum kopi ini yang menjadi debat para ulama seputar status hukum meminumnya. Secara standar syariah kebanyakan ulama: ia belum dipandang memabukkan (iskar).
Salah satu diskusi ulama tentang kopi ada di Mekkah tahun 1511, melalui peran sosok bernama Khair Beg – salah satu gubernur Dinasti Utsmaniyah. Ia mempertimbangkan pendapat para mufti setempat yang berargumen bahwa segala hal itu asalnya mubah (al ashlu fil asy-ya’ al ibahah), sampai tampak adanya madlarat dalam barang tersebut. Guna memperjelas soal adanya dampak buruk dalam kopi, Khair Beg mengundang dua dokter dari Persia untuk menjelaskan efek-efek yang dapat dimunculkan kopi.
Ulama bersikap pro dan kontra soal kopi. Salah satu ulama bernama Muhammad bin Mahmud al Zaini al Husaini yang hidup pada abad ke-16, menyusun sebuah risalah kecil tentang adanya dampak buruk kopi pada fisik. Dalam risalahnya ia menyebutkan bahwa para ahli medis maupun agama terlalu boros waktu menekuni hal-hal yang sudah beres diajarkan para pendahulu sehingga meski kopi kian populer, tidak ada pergerakan untuk melakukan riset tentang efeknya yang turut menentukan hukum meminum kopi.
Riset seputar kopi mulai banyak seiring meningkatnya konsumsi kopi di dunia Islam. Muslim yang meminum kopi, bersandar pada kaul ulama yang membolehkannya – begitupun sebaliknya ada kalangan yang merujuk ulama yang mengharamkan kopi. Para ulama dan ahli medis masih menemukan bahwa kopi dapat melanggengkan penyakit di samping ada keterangan bahwa kopi juga tidak berbahaya untuk tubuh.
Diskursus bahasa menyertai debat kebolehan dan efek minum kopi ini. Dalam bahasa Arab, dikenal kata bunn – artinya biji kopi. Dalam kasus ulama maupun ahli medis yang melarang kopi, hukum minum kopi dalam Islam membutuhkan info dari para ahli, karena tidak ada larangan eksplisit syariah untuk kopi. Biji kopi itu legal, tapi meminumnya tidak. Demikian kata sementara ulama.
Diketahui bahwa pengetahuan kedokteran masyarakat Arab era Dinasti Abbasiyah diadaptasi dari Yunani. Basis pengetahuan kedokteran ilmuwan Yunani seperti Galen atau Hippokrates memaparkan bahwa manusia memiliki empat elemen penyusun: air, bumi/tanah, api dan angin – yang memberi aspek sifat kering, dingin, panas, lembab, dan sebagainya.
Kopi, ketika ditinjau dengan kerangka teori empat elemen tersebut, menjadikan para dokter sedikit bingung. Para dokter ini mengasumsikan bahwa biji kopi memiliki aspek kering dan dingin. Aspek dalam kopi inilah yang dipandang bisa memicu suatu kondisi tubuh yang kala itu disebut dengan gejala melankolia – ditandai rasa tenang yang dalam. Padahal efek kopi tidak hanya menenangkan, tapi juga merangsang pikiran.
Baiklah jika ngopi segelas dua gelas tidak berdampak buruk bagi tubuh, sehingga status keharamannya bisa ditangguhkan. Namun bagaimana untuk ngopi terlalu banyak? Para dokter kala itu menyangka bahwa rasa tidak nyaman akibat kebanyakan kopi, mesti diatasi dengan peresepan obat tertentu. Kalangan pro-kopi menilai hal tersebut berlebihan, karena kebanyakan keluhan akibat kebanyakan kopi “hanyalah” susah tidur – padahal justru ia bisa memicu kerja dan ibadah di malam hari.
Ngopi berlebihan ini menjadi perhatian para ulama dan ahli kesehatan. Konon sepengetahuan mereka saat itu, kopi dianggap bisa bikin wasir dan sakit kepala berulang. Kopi juga dilaporkan dapat memicu penurunan nafsu makan, bahkan pada taraf tertentu, menurunkan gairah seksual. Dahulu minum kopi yang disarankan adalah yang polosan, tanpa dicampur apapun termasuk susu atau gula. Orang-orang biasa tidak ngopi dalam perut kosong, sehingga kedai kopi mulai banyak dibuka dengan turut menyediakan camilan dan makanan.
Pada akhirnya, beberapa debat soal kopi itu menemukan titik temu. Bagi para kritikus, kopi dipandang memiliki efek buruk – tapi dalam kondisi tertentu saja. Untuk kalangan pro-kopi, hampir kesemuanya mengingatkan bahwa jumlah kopi berlebihan itu tidak baik bagi tubuh bagi orang yang memang tidak kuat ngopi banyak-banyak.
Kesimpulannya kurang lebih begini: bagi yang tidak cocok ngopi, ya jangan memaksa ngopi; dan bagi yang doyan kopi, hendaknya menyadari batasan jumlah kopi yang bisa diminum. Demikianlah jalan tengah dialog ulama dan ahli medis soal kopi kurun abad ke-17.
Dengan demikian alasan haram atau halalnya kopi menjadi diskusi para ulama dan ahli medis dipicu dua hal: kopi sebagai sesuatu yang baru di Arab, serta efek “aneh” yang dirasakan setelah meminumnya. Apapun kesimpulannya, dunia telah menerima kopi. Kedai-kedai kopi yang terus bertumbuh agaknya meniadakan perdebatan macam-macam soal kopi. Entah Anda percaya atau tidak, ngopi mungkin salah satu cara terbaik menikmati dunia. Udah pada ngopi belom?

Empat Macam Kematian Menurut Para Sufi

Empat Macam Kematian Menurut Para Sufi

Kitab Tanwirul Qulub merupakan salah satu kitab yang banyak dikaji dalam pesantren. Kitab karya Syekh Muhammad Amin al-Kurdi tersebut membahas berbagai tema, salah satunya mengenai tasawuf. Di kalangan ahli tarekat, Syekh Muhammad Amin al-Kurdi merupakan penganut Thariqah Naqsabandiyah.
Salah satu bab yang dibahas dalam kitab ini adalah bab mengenai nafsu. Syekh Amin memasukkan buah pikiran dari Imam Hatim Al-Asham. Imam Hatim Al-Asham adalah ulama besar dari Khurasan. Kealimannya sudah diakui banyak orang.
Syekh Amin menulis bahwa barang siapa yang mengikut madzabku (Imam Hatim Al-Ashom), maka haruslah ia menjalani empat macam perkara kematian. Madzab yang dimaksud adalah perjalanan dalam tasawuf.
Empat kematian tersebut adalah, mautu akhmar, mautu aswad, mautu abyadh, dan mautu akhdhor. Lantas apa maksud dari empat kematian ini?
Mautu akhmar atau kematian merah adalah bagaimana seorang sufi melawan hawa nafsunya sendiri. Nafsu sebagai barang halus bisa bersembunyi melalui hal-hal yang lembut pula. Sehingga seakan-akan ia tidak tampak. Laku dalam kematian ini adalah sufi melawan hawa nafsu dalam diri sendiri hingga bagian-bagian yang lembut.
Nabi Muhammad sendiri pernah memperingatkan sahabat yang tengah merayakan euforia kemenangan saat perang Badar. Perang yang dicatat sejarah sebagai salah satu perang yang maha dasyat tersebut, dikatakan Nabi bahwa masih ada yang lebih dahsyat dari pada perang tersebut. “Lalu apa itu Nabi?” tanya sahabat kepada Nabi SAW.
Nabi SAW menjawab perang yang lebih dahsyat adalah perang melawan hawa nafsu. Nafsu memang tidak kelihatan oleh mata seperti perang menggunakan senjata. Oleh karena itu, melawan nafsu adalah salah satu bentuk jihad.
Mautu aswad atau kematian hitam adalah menahan derita yang berasal dari sesama makhluk. Sufi menanggung segala bentuk hinaan atau celaan dari manusia lainnya. Sufi menanggung derita demi kemaslahatan umat.
Sufi tahan akan segala bentuk godaan yang berasal dari manusia, tidak hanya godaan yang dilayangkan oleh setan. Jika dikonstektualisasikan dengan zaman sekarang adalah tahan akan godaan nyinyiran tetangga, nyinyiran di media sosial dan tahan dari pihak yang suka menynyir orang lain, apalagi tanpa bukti yang jelas.
Mautu abyadh atau kematian putih. Dalam hal ini sufi memperhatikan porsi dalam perutnya. Ia tahan akan godaan lapar dan tidak makan secara berlebihan. Dengan merasa lapar, ia akan menjaga hati dan pikirannya. Mengenai kematian ini, bukan berarti tidak makan untuk menjadi sufi. Beribadah, bekerja, dan mencari ilmu juga membutuhkan tenaga.
Allah menciptakan beragam tumbuhan dan hewan juga untuk dinikmati dengan ketentuan tertentu, seperti halal-haramnya. Yang tidak diperkenankan adalah memakan makanan melebihi porsinya. Karena kekenyangan dapat menyebabkan malas. Hikmah lainnya dalam kematian ini adalah kita dapat berbagi makanan dengan tetangga atau teman, sehingga tidak memakannya semua atau membiarkannya mubadzir dengan alasan sufi menahan lapar.
Mautu akhdhor atau kematian hijau. Dalam hal ini seorang sufi harus menjaga pakainnya dari kemewah-mewahan atau dalam bahasa zaman sekarang, glamor. Memakai pakaian sesuai dengan waktu dan tempatnya.
Dalam pepatah Jawa terdapat kalimat, ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono. Artinya, harga diri seorang dari lidahnya dan harga diri badan dari pakaian. Pakaian menentukan harga diri seorang di hadapan orang lain. Tetapi memakai pakaian yang glamor juga tidak dibenarkan. Sufi menunjukkan kesederhanaan dalam berbusana. Hikmah yang bisa diambil dari kematian ini adalah tidak membedakan si kaya dan si miskin. Dengan berpakaian sederhana akan memutus jarak manusia berdasarkan gaya hidupnya.
Perkataan Imam Hatim yang ditulis oleh Syekh Amin memberikan banyak hikmah bagi kita yang hidup di zaman milenial ini, dengan segala godaannya, tidak ada salahnya mempraktekkan laku tasawuf yang dirumuskan oleh Imam Hatim Al-Asham ini. (AN)

Selasa, 21 Januari 2020

Menjamurnya Ustadz Gadungan Penyebab Umat Mabuk Agama

Menjamurnya Ustadz Gadungan Penyebab Umat Mabuk Agama

Saya membaca satu ayat al-Qur’an atau hadits Nabi terkadang butuh waktu lama untuk bisa memahami dengan benar makna-maknanya, sehingga oleh karena takut salah memahami baik arti, makna, dan maksudnya saya perlu menelaah penafsiran tentang ayat atau hadits itu dari berbagai kitab tafsir atau kitab syarh (yang menjelaskan) hadis, bahkan saya tidak segan untuk bertanya kepada para ahlinya atau dengan senang hati mendiskusikannya.
Saya rasakan memang untuk mampu memahami ajaran agama dengan benar dan mantap itu butuh banyak hal, seperti beragam ilmu yang berkaitan dengannya, kecerdasan, kesabaran, kegigihan, tempat bertanya, teman diskusi yang tepat, dan butuh waktu yang relatif lama. Sedang untuk mengamalkannya amat diperlukan keteladanan dan bimbingan yang terus menerus dari para ahlinya.
Terus terang, selamanya saya tidak mau pernah percaya kepada pemahaman ajaran agama dari siapa saja yang memeroleh ilmu agamanya secara instan dan diperoleh dari nara sumber yang tidak jelas. Saya tidak mudah percaya kepada setiap orang yang ucapannya banyak keliru, argumentasinya tidak kokoh, lebih-lebih bila berisi cercaan kepada orang-orang berilmu (ulama) atau siapa saja, dan perilakunya tidak layak diteladani. Saya amat bersyukur tidak pernah mendapatkan ilmu agama dari mereka itu.
Kini keadaan telah mencemaskan dan memprihatinkan. Betapa berserakan dan dengan mudah dijumpai seseorang yang tidak jelas kepada siapa ia pernah belajar agama tidak pula diketahui telah berapa lama ia pernah mengaji, dan keilmuannya pun tidak dikenal telah teruji, tiba-tiba telah berjuluk “ustadz”, dan bahkan anehnya baru saja ia menjadi “muallaf” yang isi ceramahnya hanya menghujat ajaran agama lama yang pernah dianutnya. Mungkin ia pikir ternyata ceramah agama bisa menjadi profesi baru yang pantas ditekuni karena menjadi ladang “rizki” yang menjanjikan untuk memenuhi hajat hidup dirinya. Mungkin orang yang waras merasa heran dan tak habis pikir, mengapa banyak orang mau bermakmum mengikuti para “ustadz” itu dengan segala kefanatikannya?
Saya mengamati saat ini bahwa dunia keberagamaan umat Islam sudah surplus penceramah agama karena siapa saja boleh biacara apa saja tentang agama. Semua mau bicara, tidak ada lagi yang mau mendengarnya dengan seksama. Sungguh telah nyata ada banyak kekacauan di dalam kita beragama sehingga “para pemabuk agama” itu benar-benar mengganggu keharmonisan hidup bersama kita.
Banyak orang telah “mabuk agama” karena porsi keberagamaan yang mereka telan telah over dosis, menelan apa saja informasi tentang apa saja yang dianggapnya berbau agama tanpa kadar yang pas, tanpa seleksi dan tanpa petunjuk dari orang yang memiliki spesialisasi dan punya otoritas dalam bidang agama. Banyak sekali “ustadz gadungan” yang melakukan mal praktek di bidang sosial keagamaan, sebagaimana mereka yang bukan dokter mengaku sebagai dokter yang berpraktek “menipu” dengan mengobati para pasiennya.
Saat ini betapa mudah dijumpai beberapa “ustadz gadungan” yang dengan seenaknya menjelaskan agama dengan mengutip sepenggal ayat al-Qur’an dengan cara baca yang salah, baik tajwid maupun makhraj-nya, dengan terjemah yang sangat keliru, dengan tafsiran berdasarkan hawa nafsu, dan bahkan dengan berani melakukan tahrif (perubahan) baik terhadap lafal, makna, bahkan terhadap redaksinya.
Semua keburukan di bidang sosial keagamaan kita itu terjadi karena kebodohan dari “sang ustadz” dan para pengikutnya yang tidak disadari dan penyakit arogansi (kesombongan) yang tidak pernah diobati. Ia tersesat dan menyesatkan pemahaman agama umat, sehingga penampilan wajah keberagamaan kita menjadi sangar, menakutkan, jauh dari keselamatan, kasih sayang, dan keberkahan. Keberagamaan dalam bimbingan para “ustadz gadungan” itu bukan membawa manusia memasuki wilayah kemaslahatan, tetapi justru menjerumuskan umat manusia ke dalam lembah kerusakan. Beragama dengan ilmu, cara, dan arahan dari “ustadz” yang keliru itu senyatanya bukan menyelesaikan masalah kemanusiaan, tetapi justru menjadi masalah bagi hubungan kemanusiaan.

Masa Depan Haji yang Berbahaya


Masa Depan Haji yang Berbahaya
Naik Haji atau pergi beribadah hajii ke tanah suci Mekah adalah impian hampir semua orang Islam yang berakal sehat. Ribuan orang setiap tahun meriung di situs suci paling kuno dalam kepercayaan islam itu. Selama lebih dari sebulan, tanah haram menampung jutaan manusia. Ini terjadi setiap tahun. Terang saja, ibadah haji adalah salah satu rukun yang wajib dijalani. Jika mampu. Soal kamampuan ini jumlah jamaah haji dari Indonesia menunjukkan semakin mampunya umat islam indonesia. Jumlahnya meningkat melulu dari tahun ke tahun hingga kuotanya selalu penuh dan antrian menjadikannuya bagaikan ular.
Beberapa waktu lalu, ada kabar yang seharusnya bisa membuat risau semua umat islam di sekujur bumi. Ini bukan kabar baru sebenarnya. Tapi pasti akan lebih terasa relevan bila sudah menyangkut jantung ibadah suci. Para jamaah haji akan menghadapi situasi ekstrem yang bisa membuat nyawa melayang.
Dalam sebuah paper hasil penelitian yang dimuat di jurnal Geophysical Review Letters, sejumlah peneliti MIT memaparkan temuan baru mereka yang menunjukkan risiko-risiko yang akan dihadapi para jamaah haji dalam beberapa waktu yang akan datang. Mulai tahun depan, 2020, musim panas di Saudi akan melewati ambang batas yakni ketika peningkatan suhu berkombinasi dengan level kelembaban udara sampai keringat tubuh tidak bisa mengalami evaporasi yang pas sehingga tubuh manusia tidak bisa lagi mendinginkan atau memanaskan diri dengan baik. Para jamaah haji akan mengalami kepanasan dan berakibat fatal. Bahaya ini makin serius ketika haji berlangsung pada musim panas pada tahun 2047 hingga 2052 serta dari 2079 hingga 2086. Para peneliti ini memperkirakan bahwa level panas dan kelembaban selama musim haji akan meningkat 6% pada tahun 2020, 20% dari tahun 2045 – 2053, dan 42% dari 2079 hingga tahun 2086.
Ancaman itu akan tetap muncul meski sudah ada sejumlah tindakan signifikan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Apalagi jika  segala sesuatunya berjalan seperti biasa. Sebuah simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa baik dengan penanganan khusus maupun tanpa tindakan apapun akan sama-sama berisiko tinggi. Tentu saja jika semua berjalan apa adanya tanpa tindakan apapun, situasi yang akan terjadi akan semakin ekstrem. Sinyal mengenai bahaya cuaca ekstrem dalam ibadah haji ini sejatinya pernah muncul pada tahun 1990 dan 2015 di mana ratusan jamaah gugur karena cuaca ekstrem.
Kita semua tahu, perubahan iklim adalah nyata. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2018 telah mengeluarkan laporan bahwa ulah manusia mengakibatkan peningkatan suhu global telah mencapai satu derajat Celcius pada 2017 dan terus naik 0,2 derajat Celcius setiap tahun. Pemanasan ini akan bakal melewati batas 1,5 derajat Celcius sekitar 2040.
Jika demikian kenyataannya maka tidak ada pilihan lain kecuali melakukan tindakan-tindakan ekstra untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Peta jalan dan desakan untuk serius menghadapi perubahan iklim ini sudah disuarakan banyak orang. Dewasa ini gerakan dalam isu perubahan iklim sudah menjadi isu global. Ribuan orang menuntut para pimpinan dunia untuk melakukan aksi kongkret menghadapi perubahan iklim.
Tapi apa yang kita lihat saat ini? Segala sesuatunya berjalan seperti biasa tanpa terjadi apa-apa. Orang-orang bertikai saling berebut pengaruh dan kuasa seperti tidak sadar jika ada ancaman yang lebih besar yang sama-sama buruknya bagi mereka yang tengah bertikai. Mirip seperti ketika para ningrat dalam Game of Thrones saling tengkar sementara ancaman yang mengerikan bagi mereka semua sedang datang dari utara tembok besar.
Demikian juga tentang perubahan iklim ini. Umat manusia, termasuk umat Islam, sibuk bertikai mengenai hal-hal sepele, memperdebatkan ini dan itu dari hari ke hari, sejak dulu hingga kini, sementara ancaman nyata mulai mendekat ke depan mata. World Economic Forum pada The Global Risk Report 2019 mengatakan bahwa  perubahan iklim menempati posisi teratas sebagai penyebab bencana mundial, seperti  cuaca ekstrem, krisis pangan dan air bersih, lenyapnya keanekaragaman hayati, dan remuknya ekosistem.
Sayangnya, mereka yang mempunyai sumberdaya dan kekuatan politik justru berupaya menutupi dan menyembunyikan masalah hingga mengabaikan kenyataan ini. Segala sesuatunya akan memburuk jika moda produksi dan konsumsi masih saja berlangsung seperti yang kita jalani saat ini. Beberapa tahun ke depan petaka dan bencana akan melumat kita.
Perubahan iklim adalah masalah semua orang.  Ia membawa dampak buruk untuk lingkungan, masyarakat, ekonomi, perdagangan dan politik. Inilah tantangan utama umat manusia saat ini. Dampak paling buruk akan dialami dan dirasakan oleh negara-negara berkembang yang kebanyakan berpenduduk mayoritas muslim.  Sebagai sebuah masalah, perubahan iklim ini hanya bisa diatasi jika semua pihak di atas planet ini bekerja bersama. Termasuk oleh komunitas-komunitas agama. Semua agama. Demikian yang dikatakan oleh Paus Fransiskus dalam ensikliknya yang legendaris itu: “Jika kita benar-benar berusaha ingin membangun ekologi yang bisa  menanggulangi kerusakan yang telah kita akibatkan, maka tidak ada cabang ilmu dan tidak ada jenis kebijaksanaan yang dapat diabaikan, termasuk kebijaksanaan agama…”
Islam sendiri secara intrinsik adalah agama yang ekologis. Tidak kurang-kurangnya kebijaksanaan islam mengenai menjaga bumi. Mulai dari konsepsi utama tugas manusia sebagai khalifatullah fil ardl yang bermuara pada tanggungjawabnya untuk menjega bumi hingga banyaknya kebijaksanaan praktis seperti kata Kanjeng Nabi bahwa ada segulung pahala sedekah bagi mereka yang menanam pohon dan menjadi tempat bagi burung-burung untuk bersarang.
Peringatan para ahli tentang bahaya yang mengancam jamaah haji di beberapa tahun mendatang itu seharusnya menjadi peringatan terkhir bagi umat Islam di seluruh dunia untuk bertindak.  Mulai dari tingkat individu dengan mengubah gaya hidup menjadi lebih ekologis hingga (ini yang sangat penting) secara kolektif mendesak pemerintah negara masing-masing untuk segera melakukan tindakan kongkret mencegah perubahan iklim yang bisa dimulai dengan komitmen penuh mengurangi emisi karbon hingga melampaui target menjaga kenaikan suhu berada di 2 °C.
Pada Konferensi perubahan iklim (Conferece of Parties/COP) ke-24 di Kotawice, Polandia, 2018, sebanyak 197 negara, termasuk Indonesia, berkomitmen membatasi kenaikan suhu global di bawah dua derajat celcius. Komitmen ini yang selalu harus ditagih dan ditagih. Sebab meski segala komitmen itu dilakukan, kenaikan suhu akan tetap mencapai 1,5 derajat celcius pada tahun 2030, dan itu berarti serangkaian bencana akan datang.
Komunitas-komunitas muslim di sejumlah sudut dunia sebenarnya sudah memulai langkah. Sejumlah masjid di Inggris misalnya telah mengganti sumber listrik mereka dengan sinar matahari. Sejumlah organisasi muslim juga menginisasi penghijauan dengan gerakan menanam pohon. Tapi hal-hal seperti itu tentu saja tidak cukup menghadapi skala ancaman yang sedemikian besar ini. Jika  memang benar-benar ingin mengatasi krisis ini, semua pihak terutama adalah perusahaan besar dan negara harus melampaui mentalitas “bisnis seperti biasa.”
Kembali ke soal haji tadi, pertanyaan retorisnya kemudian adalah jika ibadah haji adalah wajib bagi kaum muslimin bukankah itu juga mengandung pesan agar kita perlu menjaga agar ibadah haji bisa tetap terlaksana dengan seksama dan aman dari segala ancaman?
Wallahu alam.

Benarkah Jika Perempuan Tidak Berjilbab Islamnya Lemah?


Benarkah Jika Perempuan Tidak Berjilbab Islamnya Lemah?
Salah satu permasalahan yang selalu muncul dalam diskursus pemikiran Islam, khusus hukum Islam adalah terkait dengan penggunaan jilbab. Jilbab di sini yang dimaksud jika dikaitkan dengan fenomena yang terjadi dalam masyarakat muslim Indonesia adalah kerudung, yaitu penutup kepala bagi seorang perempuan muslimah.
Tentu saja jika membahas hal ini, tidak bisa lepas dari seputar pembahasan terkait dengan batasan-batasan aurat yang wajib ditutupi bagi seorang perempuan. Di mana, terkait batasan-batasan  aurat perempuan para ulama mempunyai pendapat yang beragam, bahkan berbeda satu sama lainnya. Begitu juga terkait dengan pemaknaan ayat yang menjelaskan tentang jilbab yaitu Al-Ahzab ayat 59, terdapat perbedaan antara satu ulama dengan ulama yang lainnya. Di mana perbedaan tersebut juga didasari dengan argumentasi keilmuan, sehingga untuk membantahnya juga dengan etika keilmuan.
Namun tulisan ini tidak akan membahas terkait perbedaan penafsiran para ulama terkait hal tersebut, karena sudah banyak sekali yang membahasnya. Di mana jika dilihat, titik perbedaan yang terjadi antara para ulama adalah terkait dengan batasan aurat perempuan. Yang kemudian berimplikasi pada hukum penggunaan pakaian yang digunakan untuk menutupi aurat perempuan tersebut atau dalam istilah yang banyak digunakan yaitu jilbab.
Cakupan yang begitu luas terkait jilbab inilah, yang kemudian menjadi bahan perdebatan, diskusi, hingga tolok ukur dalam menilai keimanan dan keislaman seseorang. Permasalahan tentang jilbab ini, khususnya di Indonesia akhir-akhir ini kembali mencuat setelah Ibu Shinta Nuriyah istri almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan bahwa jilbab tidak wajib bagi seorang muslimah.
Jika dilihat pernyataannya di video yang ada dalam channel youtube Dedy Corbuzer, jilbab yang dimaksud oleh istri Gus Dur tersebut adalah penutup kepala bagi seorang muslimah (kerudung). Sehingga untuk membahas hukum terkait hal tersebut, perlu disepakati terlebih dahulu tentang batasan-batasan aurat dalam diri perempuan. Terkait hal ini, yang hukumnya wajib adalah menutup aurat. Sedangkan batasan-batasan aurat tersebut, banyak ragam perbedaan antar para ulama. Begitu juga pakaian untuk menutupinya, juga banyak macamnya.
Walaupun bukan masalah legal formal tentang wajib atau tidaknya jilbab bagi perempuan muslim,  namun pada realitanya aturan wajib inilah yang mendasari  berbagai persepsi di dalam masyarakat dan juga mengkonstruksi menjadi sebuah symbol keimanan dan keislaman seorang perempuan. Sehingga yang muncul kemudian adalah anggapan bahwa muslimah yang tidak menggunakan jilbab itu belum menjalankan agama secara benar, atau keislamannya dan keimanannya diragukan karena tidak menggunakan jilbab (bahasa ekstrimya tidak taat kepada perintah agama).  Sehingga jilbab kemudian menjadi symbol religious atau tidaknya dalam diri seorang perempuan muslim.
Akan tetapi, penggunaan jilbab sebagai tolok ukur keimanan dan keislaman seorang perempuan muslim dalam realitanya tidak seideal dan seanggun apa yang digambarkan dan dikonstruksikan sebagai seorang muslimah yang taat.
Jika kita flashback ke belakang misalnya, pada tahun 2018 M ketika terjadi bom di Surabaya yang dilakukan oleh satu keluarga, di mana sang perempuan menggunakan jilbab. Tentu jika penggunaan jilbab dijadikan tolok ukur keimanan dan keislaman seseorang, masak iya orang Islam yang beriman tega membunuh sesamanya. Dan tentu saja banyak berbagai kasus lainnya, mulai dari yang korupsi dan lain sebagainya yang melibatkan perempuan berjilbab. Di sisi lain, banyak juga perempuan muslim yang berjilbab mempunyai akhlak dan perbuatan yang baik, serta berbagai prestasi yang menakjubkan.
Begitu juga dengan perempuan muslim yang tidak menggunakan jilbab, mereka bukan berarti seorang muslimah yang tidak taat atau tidak beriman. Karena mengukur keislaman dan keimanan seseorang tidak bisa dilihat dari tampilan luarnya saja, bisa jadi mereka yang tidak berjilbab banyak beribadah dan memohon ampunan kepada sang pencipta. Di sisi lain, perempuan muslim yang tidak berjilbab juga banyak yang sebagaimana diungkapkan oleh sebagian kalangan. Dalam artian, kita tidak bisa memukul rata untuk menilai sebuah sesuatu apalagi hanya dari tampilan luarnya saja.
Sehingga pakaian atau tampilan luar, baik itu perempuan yang berjilbab ataupun perempuan yang tidak berjilbab tidak bisa menjadi tolok ukur untuk menilai keislaman dan keimanan seorang perempuan. Adapun jika permasalahan ini kemudian ditarik ke sebuah pembahasan bahwa perempuan yang tidak berjilbab akan mengundang hawa nafsu laki-laki untuk berbuat perbuatan tercela kepada perempuan, maka hal tersebut dikembalikan ke pribadi masing-masing. Karena lelaki yang baik tentu selalu menjaga akhlaknya dan hawa nafsunya, begitu juga dengan perempuan yang baik.
Oleh karena itulah, jilbab tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur menilai keislaman dan keimanan seorang perempuan. Karena pola penggunaan jilbab itu fleksibel yaitu sesuai kebutuhan dan kenyaman dalam diri perempuan masing-masing. Adapun persoalan modelnya juga tergantung, karena itu bagian dari seni dan lifestyle serta kebutuhan pribadi masing-masing. Sebab di setiap zaman dan tempat mempunyai budaya dan tradisi yang berbeda-beda, sehingga setiap orang punya cara tersendiri untuk menutup auratnya. Dan yang penting untuk diutarakan bahwasanya menutup aurat bagi perempuan itu wajib.