Jumat, 20 September 2019

Ketika Anak Yang Soleh Lupa Berdoa

Ibu dan anak Berdoa

Ingat maupun tidak, tapi hadist mengenai anak soleh akan mendoakan orangtua, atau anak yang soleh doanya dikabulkan dan akan menolong orangtua ketika di akhirat kelak sangat familiar ditelinga bu Nisa.
Orang tua mana yang tidak mau punya anak yang soleh, segala cara terus dilakukan untuk mendapatkan anak yang soleh. Baik menyekolahkan ditempat yang mahal, yang agamanya bagus, sampai mengantar jauh keluar kota untuk mendapatkan anak yang soleh.
Ya,anak yang soleh harus diupayakan dan sudah merupakan kewajiban orangtua untuk men-solehan anaknya dengan cara yang benar.
Belajarlah anak yang soleh ini, dengan segenap kemampuannya, tawa riangnya membuat dia mampu atau tidak mampu menjadi anak yang soleh. Ada anak yang sebentar saja langsung menjadi soleh, ada anak yang lama sekali baru soleh, ada juga anak yang dipukulin dulu baru soleh. Ada juga anak yang setelah ibu atau ayahnya meninggal baru soleh, memyesal dan teringat semua kata-kata dan nasehat orang tua-nya ketik masih hidup. Selain itu, ada juga anak yang sama sekali tidak soleh, atau gagal menjadi anak yang soleh, bahkan mental dan membenci semua yang berbau Islam, berbau agama, naudzubillhmindzalika.



Orangtua memang harus lelah untuk menjadikan anaknya soleh, bahkan bagi oangtua yang sudah bersusah payah menjadikan anaknya soleh; berdoa setia malam, dan mendatangkan guru dan ustad untuk mengajari anaknya dengan harapan dapat mensolehkan anaknya. Namun, ternyata anak soleh tidak kunjung juga didapatkan, jangan bersedih hati, percayalah Allah tidak tidur.
Panci yang dipakai untuk masak rendang berhari-hari, tentu saja dasar panci akan mengeras dan berwarna hitam, walau akhirnya dipakai untuk sup sekalipun, sang panci tetap berwarna hitam bekas rendang. Maka walau anak yang soleh pada akhirnya tidak sesoleh yang diinginkan, semua pelajaran dan pendidikan untuk mensolehkan anak itu, tetap membekas dalam lubuk hatinya dalam pikirannya, dalam bawah sadarnya. Gerakan sholat yang pernah diajarkan, setiap kebaikan yang selalu dibisikkan, keinginan berbuat baik, ilmu-ilmu tersebut sudah tertanam dan membekas dalam dirinya! Hanya saja lingkungan yang akan mempengaruhinya, bila lingkungan buruk dan kurang nuansa agama, maka akan membuat sang anak tetap soleh dengan versi berbeda. Misal; anak yang dulunya dipesantren lalu menjadi artis sinetron atau penyanyi, maka lagu-lagu yang dibawakan masih religius, tidak liar juga, walau Iingkungannya adalah lingkungan perfileman/entertainment. Namun, keinginan untuk menjadi orang baik dalam lingkungan tersebut tetap ada, masih ada rambu- rambu dalam dirinya. Tidak ada kata sia-sia dalam mendidik anak yang soleh, yang sia sia adalah bila tidak mendidik.
Hanya saja yang suka lupa didengungkan para guru dan orangtua terhadap anaknya adalah menanamkan kebiasaan mendoakan orangtua, bukan dengan doa yang rutin; Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa.” Namun, doa yang betul-betul untuk orang tua yang dihayati dan dipahami, dan menanamkan betapa pentingnya arti doa kita bagi orangtua. Doa anak yang soleh bukan doa anak biasa, pertama soleh dulu, kedua adab berdoa dan pentingnya doa tersebut, kalau perrlu sebuah sekolah bagus juga bila mengadakan rutinitas pagi berupa doa bagi orangtua, dimana anak-anak diajarkan dulu menulis dan berpikir doa apa yang sebaiknya dilantunkan buat orangtua.
Tiga hari lagi bu Nisa ulang tahun, dan yang dipikirkannya bukan hadiah dari anak-anak berupa kado ini atau kado itu, tetapi berupa doa yang sudah disiapkn anak-anak sejak minggu lalu, doa yang berkualitas bukan doa yang dihafal beramai-ramai didalam kelas. Doa spesifik yang hanya anak kita lantunkan untuk orang tua tersayangnya.
Source : Era Muslim

Rabu, 11 September 2019

Mulia dengan Ilmu dan Iman

Mengukur manusia dengan jasadnya sama seperti menyerupakan manusia dengan makhluk lainnya. Cuma mungkin agar sedikit berbeda lalu dibuat tambahan aspek penilaian disana sini.
Mulia dengan Ilmu dan Iman
     Generasi muda Muslim di Raja Ampat, Papua Barat.


FITRAH manusia asalnya mulia. Allah mencipta manusia sebagai sosok mulia. Bahkan memotivasinya berlomba-lomba meningkatkan kemuliaan. Seperti bahagia, mulia juga idaman setiap manusia. Tak seorang pun manusia suka dihina dan ternista dalam hidupnya. Apapun akan dipertahankan dan dibelanya, jika itu dianggap simbol kemuliaan seseorang.
Firman Allah, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra [17]: 71).
Soalannya, apakah manusia boleh bercukup dengan kemuliaan fisiknya? Hanya karena orang itu dicipta berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain? Bahwa selain fisik yang paripurna, manusia juga dibekali perangkat akal dan hati. Akal adalah alat untuk menalar dan menimbang sesuatu sedang hati tempat bercermin dengan kejernihan bak telaga.
Bagi orang beriman, kemuliaan tak cukup dengan bersandar pada sempurnanya fisik semata. Sebab demikian itu hanya sesaat. Fana dan segera lenyap begitu saja. Mengukur manusia dengan jasadnya sama seperti menyerupakan manusia dengan makhluk lainnya. Cuma mungkin agar sedikit berbeda lalu dibuat tambahan aspek penilaian disana sini.
Buya Hamka dalam karya berjudul Pribadi, mengutip sebuah pepatah Arab yang menyatakan: “Aqbil ‘ala an-nafsi, wa-ahsin fadhaailahaa. Fainnaka bin-nafsi laa bil-jismi insaanun.” (Fokuskan dirimu pada jiwamu, dan sempurnakanlah keutamaan-keutamaannya. Sebab, pada hakikatnya, anda disebut manusia, karena jiwa anda, bukan karena tubuh anda).
Realitasnya, tak sedikit manusia terjebak dengan asumsi keliru tentang mulia tersebut. Sebagian mengartikan mulia (al-izzah) sebagai capaian dan prestasi dunia semata. Merasa dirinya (lebih) mulia hanya gara-gara hartanya yang lebih banyak atau kekuasaannya yang lebih tinggi, dan seterusnya.
Akibatnya, orang berlomba-lomba mengejar dunia dan menjadikannya tujuan nomor satu di setiap aktivitasnya. Mereka disibukkan dengan urusan jasad semata. Baik fisik secara rangka biologis ataupun fisik secara bangunan infrastruktur. Hari-harinya tersita hanya mengurus materi dan kebendaan saja. Ia lalai dari hakikat dirinya sendiri sebagai manusia yang sebenarnya bertumpu pada jiwanya.
Untuk itu mari mengetuk hati. Merenungi kembali apa yang digariskan Allah, Sang Pemilik kehidupan. “… Padahal izzah itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya, dan bagi orang-orang beriman…” (QS. Al-Munafiqun [63]: 8).
Bahwa sumber mulia itu dari Allah, Dia-lah penggenggam kemuliaan, yang memuliakan siapa saja makhluk-Nya yang diinginkan mulia dan menistakan siapa yang dikehendaki menjadi hina. Barometernya adalah ilmu, iman, dan amal shaleh. Bukan yang lain. Sebab selainnya hanyalah bonus hadiah dari Sang Khaliq Yang Maha Pemurah.
Maka, tak ada yang keliru dari segala obsesi dan cita-cita tinggi manusia di dunia. Asal jangan sampai pekerjaan dan kesibukan itu melalaikan dari mengingat Allah dan beribadah kepada-Nya. Sebab mulia itu ketika ia memilih tersungkur hina bersujud di hadapan-Nya. Mulia itu ketika berilmu tapi makin tersadar akan kebodohannya.
Sebaliknya, merugilah manusia yang gara-gara mengejar dunia untuk dibilang sukses dan dianggap mulia, sedang dirinya tak lebih dari orang yang dipenjara oleh keinginan hawa nafsunya. Ketahuilah itu hanya kebahagiaan semu yang berbalut dusta belaka. Setiap waktu, ia mesti bersembunyi di balik topeng atas nama pencitraan.*
Rep: Admin Hidcom

Beginilah Kegiatan Harian Rasulullah Muhammad ﷺ

Dapat disimpulkan bahwa kegiatan keseharian Rasulullah tidak jauh dari kegiatan di masjid, rumah, dan sosial. Semua bisa beliau harmonikan dengan sangat baik.





SAAT ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha diminta Sa’ad bin Hisyam menginformasikan akhlak keseharian Rasulullah ﷺ, Ummul Mu`minin pun menjawab, “Sesungguhnya akhlak Nabi ﷺ adalah al-Qur`an.” (HR. Muslim). Berikut ini adalah gambaran global keseharian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan cerminan riil dari al-Qur`an.
Saat azan subuh berkumandang, beliau mengerjakan shalat sunnah qabliyah (sebelum subuh), lalu keluar rumah untuk menunaikan shalat subuh di masjid secara berjamaah. Usai menjalankannya, beliau biasa berdiam diri (i’tikaf) di masjid hingga matahari terbit.
Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu pernah menceritakan kebiasaan baik ini, “Rasulullah ﷺ tidak beranjak dari tempat shalatnya –bakda subuh- sampai terbitnya matahari. Ketika matahari sudah terbit beliau melaksanakan shalat dua rakaat.” (HR. Abu Daud). Secara global waktu ini digunakan beliau untuk dzikir pagi, dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Pada waktu dhuha sudah masuk, beliau menunaikan shalat dhuha sebanyak empat rakaat [dua kali salam] atau lebih. Aisyah meriwayatkan, “Rasulullah ﷺ shalat dhuha sebanyak empat rakaat, kadang ditambah sesuai dengan kehendaknya.” (HR. Muslim).
Meski pada riwayat lain disebutkan bahwa beliau terkadang juga tidak menjalankannya, tapi alasannya jelas yaitu khawatir menjadi beban dan diwajibkan kepada umatnya.
Sekembalinya dari masjid, ada beberapa kegiatan yang dilakukan beliau di rumah –sebagaimana riwayat Aisyah Radhiyallahu ‘anha-, seperti: turut membantu pekerjaan istri seperti memerah susu kambing, menembel baju, melayani diri sendiri, menjahit sandal. (HR. Ahmad).
Sikap rasul pada istri, anak, bahkan pembantu ketika di rumah begitu lembut. Tidak pernah terjadi KDRT di dalamnya. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhu bercerita: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. tidak pernah memukul dengan tangannya, baik terhadap seorang wanita ataupun pelayan, melainkan di waktu beliau ﷺ sedang berjihad fi-sabilillah.” (HR Muslim).
Pada pertengahan hari beliau biasa menyempatkan tidur qoilulah agar bisa membantunya bangun menunaikan shalat malam. Diriwayatkan, “Tidurlah pada waktu qailulah, karena sungguh setan tidak tidur qailulah.” (HR. Thabrani).
Ketika sudah tiba waktu shalat beliau keluar ke masjid untuk melaksanakan shalat sebagaimana yang diriwayatkan al-Aswad dari Aisyah, beliau biasa membantu pekerjaan rumah tangga. Ketika waktu shalat sudah datang, beliau segera ke masjid. (HR. Bukhari).
Di masjid ini bukan saja dijadikan beliau sebagai tempat ritual belaka, tapi juga menjadikannya sebagai wahana untuk mengobrol, taklim, nasihat, menyimak pengaduan, memperbaiki hubungan yang rusak, memecahkan solusi, bahkan strategi militer dan politik.
Saat di rumah, terkait soal makanan, beliau tidak pernah mencelanya. Jika ingin, beliau makan, jika tidak, beliau tinggalkan (HR. Bukhari, Muslim).
Hal lain yang biasa dilakukan beliau dalam masalah ini ialah mengawali dengan basmalah, mengambil makanan yang terdekat; memulainya dengan tangan kanan; terkadang makan secara berbarengan.
Selain di masjid dan di rumah, kegiatan harian Rasulullah ﷺ juga menjangkau ranah sosial. Di antara kegiatan yang dilakukan beliau dalam segmen ini: memantau dan memeriksa kondisi riil masyarakat, menjalin pergaulan simpati, memeriksa praktik kecurangan di pasar (HR. Muslim), dan tidak gengsi ketika berkumpul dengan mereka.
Jauh sebelum menjadi Nabi, saat berumah tangga dengan Khadijah, aktivitas sosial seperti: menyambung tali persaudaraan, membantu orang yang sengsara, mengusahakan barang keperluan yang belum ada, memuliakan tamu, dan menolong orang yang kesusahan karena menegakkan kebenaran (HR. Bukhari) adalah kebiasaan harian yang dilakukan oleh beliau.
Aktivitas lain yang dilakukan seperti: menjenguk orang sakit baik Muslim maupun non-Muslim sebagaimana yang pernah beliau lakukan kepada pelayannya yang beragama Yahudi (HR. Bukhari).
Sore hari, pasca shalat ashar, beliau melakukan dzikir sore. Dalam catatan hadits, untuk istighfar saja, beliau sehari minimal melantunkannya sebanyak 70 sampai 100 kali (HR. Tirmidzi).
Ini baru istighfar, belum lagi dzikir-dzikir lain yang beliau dawami dan diajarkan kepada umatnya baik di waktu pagi dan sore. Semua ini beliau lakukan tidak lain karena perintah yang ada dalam al-Qur`an (QS. Al-Ahzab [33]: 41, 42).
Memasuki waktu malam, beliau menunaikan shalat (maghrib dan isya) jika ada keperluan terkait umat Islam beliau berembuk dengan para pemuka sahabat (HR. Ahmad, Tirmidzi), jika tidak ada maka beliau bercengkrama dengan keluarga di rumah.
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menggambarkan dengan sangat baik bagaimana keseharian beliau. Rasulullah sangat bagus dalam menjalin pergaulan, murah senyum, bercengkrama dengan keluarga, bersikap lemah lembut terhadap mereka, memberikan nafkah, bahkan mengajak bercanda.
Terkadang di malam hari sesekali istri beliau kumpul makan malam bareng di tempat Rasulullah menginap, kemudian setelah itu mereka kembali ke rumah masing-masing. Beliau tidur satu ranjang dengan istri. Bakda shalat isya beliau ngobrol dengan keluarganya sebentar sebelum tidur. (Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adzīm , II / 212).
Kalau tidak ada keperluan, ada dua hal yang dibenci Rasulullah ﷺ di waktu sebelum maupun sesudah isya, yaitu: tidur sebelum isya dan ngobrol setelahnya (H.R. Bukhari).
Setelah itu beliau tidur di awal malam, selanjutnya bangun kemudian bersiwak dan berwudhu (HR. Abu Daud) untuk menunaikan shalat malam sesuai dengan yang dikehendakinya sampai Bilal mengumandangkan azan subuh kemudian keluar untuk shalat berjamaah. Kegiatan ini pernah disaksikan langsung oleh Ibnu Abbas (HR. Bukhari, Muslim).
Dari kegiatan harian Rasulullah ﷺ yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa kegiatan keseharian beliau tidak jauh dari kegiatan di masjid, rumah, dan sosial. Semua bisa beliau harmonikan dengan sangat baik. Beliau disiplin dalam ibadah, sangat perhatian kepada keluarga, dan begitu respons terhadap problematika sosial.*/ Mahmud Budi Setiawan
Rep: Admin Hidcom

Seburuk-buruk Kaum, Hanya Beribadah di Bulan Ramadhan Saja



BISYR AL HAFI, seorang ulama shalih suatu saat ditanya,”Ada kaum yang hanya beribadah di bulan Ramadhan saja.”
Bisyr pun menjawab,”Seburuk-buruk kaum adalah kaum yang tidak mengenal hak Allah, kecuali hanya di bulan  Ramadhan saja. Sesungguhnya seorang disbut shalih ketika ia beribadah dan bermujahadah selama setahun penuh.”
Asy Syibli pernah dintanya,”Mana yang paling utama, Rajab atau Sya’ban?” Maka ia pun menjawab,”Jadilah seorang Rabbani, bukan Sya’bani.”
Maknanya, handaklah seorang Muslim melakukan ibadah secara terus-menerus di setiap waktu. (Latha’if Al Ma’arif, hal. 396).

Rep: Sholah Salim
Editor: Thoriq

Kesabaran Imam at Thobari

Ulama memuji Imam Thabari. Imam Ad Dzahabi, dalam Mizanul I’tidal menyebut beliau imam besar, mufassir dan pemilik banyak karya tertulis



ADALAH Imam Thobari, salah satu ulama mufassir, muhadist sekaligus muarikh. Lahir di Thabaristan (sebuah wilayah di negeri Parsi, yang terletak antara Jurjan dan Dailam), pada tahun 224 H, dan meninggal di Baghdad pada tahun 310 H.
Karya-karya yang telah ditulisnya adalah Jami’ul Bayan Fannu Ta’wili Ayil Qur’an yang lebih dikenal dengan Tafsir Thobari, Ikhtilaful Fuqaha’Attarikh Atthabari, dll.
Dia adalah seorang ‘alim yang memiliki kepribadian yang mulia dan tawadhu’, baik terhadap para tamu dan murid-muridnya. Tidak memiliki sifat takabur atau menjadi sombong karena ilmu yang telah dimilikinya (Lihat, Al Imam At Thobari, karya Dr. Muhammad Zuhayli, hal. 79).
Berkata Abu Bakar bin Kamil, salah satu ulama yang hidup semasanya: “Aku menjenguk Abu Ja’far (Imam Thabari) ketika ia hendak meninggal, dan aku memintanya untuk memaafkan semua orang yang telah memusuhinya. Aku berbuat demikian dikarenakan guruku, Abu Hasan bin Husain, dimana aku telah menimba ilmu tentang Al Qur’an darinya” (dan dia telah memusuhi Imam Thobari, dikarenakan Imam Thobari telah memuji Imam Abu Hanifah). Maka Imam Thobari pun menjawab permintaan Abu Bakar bin Kamil: “Semua yang telah memusuhiku telah aku maafkan, kecuali mereka yang telah menuduhku berbuat bid’ah.” (Mu’jamul Udaba’, hal 84, vol.18).
Muhammad bin Dawun Adhahiri, salah satu ulama Madzhab Dhahiri, anak dari Dawud Adhahiri, pendiri Madzhab Dhahiri, telah telah menuduh Imam Thabari dengan beberapa-tuduhan batil, mencelanya dan mengkritiknya.
Hal itu dikarenakan Imam Thabari telah mendebat ayah Muhammad bin Dawud. Namun setelah Imam Thabari bertemu dengan Muhammad bin Dawud ia memaafkannya seluruh perbuatan si anak dan ia memuji ayahnya, sehingga Muhammad bin Dawud tidak lagi melemparkan tuduhan buruk terhadap Thobari (Al Imam At Thobari hal. 76, lihat juga Mu’jamul Addiba’ hal. 80, vol 18).
Ketika Imam Thobari sampai ke Bagdad dari Thabaristan, para pengikut Madzhab Hambali menanyakan kepadanya beberapa hal, salah satunya adalah sebab Imam Thobari tidak mencantumkan nama Imam Ahmad dalam kitabnya, Ikhtilaful Fuqaha’.
Maka Imam Thobari menjawab: “Adapun Imam Ahmad tidak dihitung khilafnya”. Lalu mereka menyanggah: “Tapi para ulama menyebutnya dalam ikhtilaf”. Dijawab Oleh Imam Thobari: “Aku tidak melihat bahwa hal itu diriwayatkan dari Imam Ahmad, dan aku juga tidak melihat para sahabatnya merujuk kepadanya dalam masalah fiqih, adapun Imam Ahmad adalah imam dalam hadits dan tidak membangun sebuah Madzhab fiqih”.
Maka ketika mereka mendengar jawaban Imam Thabari mereka menganiayanya dan melempari pintu rumahnya dengan bebatuan.

                                                                     *********
Tidaklah Imam Thabari kecuali berbicara kepada mereka sesuai dengan akal, pemahaman dan ta’ashub mereka. Dan ia menulis sebuah buku untuk menjelaskan alasannya, lalu ia menyebut madzhab dan akidahnya yang sesuai dengan madzhab dan aqidah Imam Ahmad dan salaf, lalu membacakan buku itu untuk mereka. Maka usailah perselisihan.
Akan tetapi sebagian dari sebagian dari kaum awam mdzhab Hambali tetap tetap memperlakukan Imam Thabari, ketika ia sudah wafat, mereka melarang penguburan jenazhanya di siang hari dan munuduhnya sebagai pengikut Rafidhan dan orang-orang bodoh menuduhnya sebagai orang yang telah murtad. Hingga akhirnya jenazah Imam Thobarai dikebumikan di dalam rumahnya (Lihat Mu’jamul Addiba’ hal. 59, vol. 18, juga At Thabaqah As Syafi’iyah Al Kubra, hal. 124, vol. 3, juga Al Bidayah wan Nihayah, hal. 146, vol. 11).
Ibnu Katsir, dalam kitabnya, Al Bidayah wan Nihayah  ia mengatakan: “Hal itu merupakan hal yang mustahil terdapat pada diri Imam Thobari akan tetapi sebaliknya, ia adalah salah satu ulama dan imam umat Islam, yang beramal berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah (Al Bidayah wan Nihayah, hal. 154, vol. 11).
Bahkan beberapa ulama menyampaikan pujian untuknya, salah satunya adala Imam Ad Dzahabi, ia berkata dalam Mizanul I’tidal: “Seorang imam besar, mufassir, Abu Ja’far, pemilik banyak karya tertulis…, salah satu dari ulama besar yang dijadikan rujukan (Mizanul I’tidal ).*
Rep: Admin Hidcom
Editor: Thoriq

RUMAN Aceh Ajari Warga Ubah Limbah Jadi Rupiah

Selasa, 10 September 2019 - 10:29 WIB "Setahu kami, RUMAN Aceh telah membawa produk mereka ke event tingkat nasional sebagai wakil Aceh tahun lalu"


Hidayatullah.com– Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Rumah Baca Aneuk Nanggroe (RUMAN) Aceh kembali mengajarkan kerajinan tangan dari bahan limbah (sampah) bagi masyarakat yang mampu menghasilkan rupiah.
Kegiatan yang difasilitasi oleh kelompok 1 KKM (kuliah kerja mahasiswa) Universitas Iskandar Muda (UNIDA) tersebut digelar di Gampong Deah Mamplam, Kecamatan Leupung, Aceh Besar pada Ahad (08/09/2019) siang hingga sore.
Sebanyak 25 orang kaum hawa, mulai dari anak-anak, remaja hingga ibu-ibu rumah tangga (IRT) mengikuti kegiatan itu dengan penuh antusias. Di antara IRT itu ada yang datang sambil menggendong anaknya.
Sekretaris Kelompok 1 KKM UNIDA Shelly S Adam menuturkan bahwa selama menunaikan amanah kampus tersebut, mereka berusaha menghadirkan hal-hal baru yang bernilai positif dan ekonomis bagi masyarakat.
“Keterampilan membuat kerajinan tangan seperti yang diajarkan RUMAN Aceh adalah hal baru. Dan, setahu kami, RUMAN Aceh telah membawa produk mereka ke event tingkat nasional sebagai wakil Aceh tahun lalu,” ujar Shelly.
Hal tersebut dibenarkan oleh Nur Hayati, salah seorang IRT yang mengikuti kegiatan tersebut. Masyarakat gampongnya belum pernah melihat produk kerajinan tangan yang diajarkan kepada mereka hari itu.
“Kami sangat senang mengikuti acara ini. Awalnya kami pikir akan sangat susah cara membuat dan mahal bahannya. Ternyata, bisa dibuat dari sampah. Terima kasih adik-adik mahasiswa dan juga RUMAN Aceh,” ungkap Nur tersenyum.
Sementara itu, Ketua PKBM RUMAN Aceh, Rizky Sopya mengatakan, pihaknya memberikan apresiasi positif kepada mahasiswa KKM UNIDA kelompok 1 yang memfasilitasi kegiatan ini bagi masyarakat umum.
“Para peserta kami buka pikiran mereka agar mau mengubah limbah menjadi rupiah melalui produk kerajinan tangan. Bahan bakunya ada di sekitar kita yang seringkali dibiarkan begitu saja, padahal bernilai ekonomis,” kata Rizky.
Para peserta, imbuh Rizky, diajarkan cara membuat kreasi tempat pentul yang menjadi produk andalan pihaknya. Produk ini pernah membawa pihaknya peringkat ke-7 saat mewakili Aceh dalam ajang yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Juli 2018 lalu di Pontianak, Kalimantan Barat.
Pada akhir pelatihan, sebelum berpisah, PKBM RUMAN Aceh membagikan door prize kepada 10 peserta berupa jilbab dan bros pita. Sementara peserta lainnya menerima bros saja plus tempat pentul yang telah mereka selesaikan. Tak pelak, senyum sumringah menghiasi wajah mereka.* Kiriman Ahmad Arif/Pembina PKBM RUMAN Aceh”
Rep: Admin Hidcom
Editor: Muhammad Abdus Syakur

Mengarifi Polemik A. Hassan dengan Hamka

Dalam masalah kebenaran yang diyakini, A Hassan dan Buya Hamka bisa saling kritik walau dengan sepedas apapun. Namun keduanya tak menghilangkan persaudaraan
Hidayatullah.com | DALAM buku “Kenang-kenangan Hidup II” (1974:200), Hamka mengisahkan bahwa beliau pernah diserang habis-habisan oleh A. Hassan. Bahkan, dikeluarkan edisi Al-Lisan khusus mengkritik pedas ulama yang bernama lengkap Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) itu. Kenang Hamka, “Di dalamnya Tuan A. Hassan memuntahkan segala caci maki dan penghinaan, ejekan dan tudingan , yang kalau jiwa tidak kuat bisa menghancurkan mental dibuatnya.” Sampai Indonesia merdeka pun, kata Hamka, A. Hassan masih melancarkan kritiknya sebagaimana sebelumnya. Kritik A. Hassan melalui Majalah Al-Lisan, bisa dibaca pada koleksi Saudara Wahyu Indra Wijaya (yang pernah di-uploud di FB-nya). Pada Al-Lisaan No. 32, edisi 10 Sya’ban 1357 (5 Oktober 1938), ada beberapa artikel yang ditujukan kepada Hamka secara pribadi dan majalah Pedoman Masjarakatnya. Beberapa artikel yang ditujukan pada Hamka dan majalahnya misalnya: (1) Mendjawab Pedoman Masjarakat (2) Cursus Bahasa ‘Arab Boeat Toean Hamka (3) Hashil didikan Hamka (4) Silat t. Hamka tentang Roman (5) Dan toan Hamka berkata (6) Di Sekitar Hamka (7) Kritiek Terhadap Tjeritera Roman. Baca: Logika Jenaka Tuan A. Hassan Menurut Hamka, kritikan yang ditujukan A. Hassan kepadanya karena ia memiliki pendapat yang berbeda dengan A. Hassan yang dituangkan dalam majalah Pedoman Masjarakat. Namun, kalau kita membaca majalah Al-Lisaan terkhusus tema “Mendjawab Pedoman Masjarakat”. Disebutkan bahwa yang mulai terlebih dulu adalah Hamka, yang menulis pada majalah Pedoman Masjarakat No. 15-21. Di situ berisi celaan kepada kaum Tua dan kaum Muda, menyambuk sana, memecut sini, menendang kanan, menendang kiri. Maka ada surat-surat pembaca yang meminta kepada majalah Pembela Islam untuk menjawab artikel yang tak sopan dan tak jujur serta menyakiti kaum Tua dan kaum Muda. Sepanjang pengetahun penulis, A. Hassan memang tidak sembarangan mengeluarkan kata-kata pedas dan celaan jika tidak diserang terlebih dahulu. Sebagai contoh, saat Soekarno menulis artikal “Memudakan Pengertian Islam” yang berisi kata-kata kasar, A. Hassan membalasnya dengan artikel yang tak kalah kritis dan kasar “Membudakkan pengertian Islam.” Baca: Buya Hamka dan Pesan Ghīrah *** Sedangkan kritikan A. Hassan pasca kemerdekaan, misalnya bisa dibaca pada buku berjudul “Kritik I” (1952) dan “Kritik II” (1953). Di antara kritik A. Hassan seperti: kritik atas Hamka yang memuji penulis Ahmadiyah pada sambutan buku Capita Selecta karya M. Natsir; kritik terhadap Hamka yang menjadi pengajar ushul fikih di perguruan tinggi Islam Jakarta; pandai membuat roman tjabul dan lain sebagainya. Apa A. Hassan melakukan itu semua karena benci atau tak suka kepada Hamka? Sama sekali tidak. Semua kritik yang dilontarkan, tidak lepas dari bingkai Surah Hud ayat 88 yang intinya untuk niat ikhlas melakukan perbaikan, bukan kerusakan. Dalam dunia nyata, memang A. Hassan meski terlihat sangat keras dan tanpa kompromi, tapi dalam pergaulan sangat lembut sebagaimana pengakuan Z.A. Ahmad dalam buku “Riwayat Hidup A. Hassan” anggitan Tamar Djaja. Hamka sendiri tidak pernah menyimpat sakit hati hingga dendam. Buktinya, saat mendapat gelar doctor honoris causa, pada kesempatan itu beliau tak lupa menyebut secara singkat bagaimana kontribusi positif A. Hassan dalam bidang tajdid di Indonesia. Beliau juga memuji kuatnya hujjah A. Ahassan. Bahkan beliau juga sempat mendoakan A. Hassan yang sakit hingga dipotong kakinya. Menurut Babe Ridwan Saidi dalam buku “Zamrud Khatulistiwa” (1993) ada kata kunci yang bisa dilihat dari sosok Hamka yang begitu lapang hati, yaitu keikhlasannya. Maka menarik apa yang ditulis Budayawan Ridwan terkait sikap Hamka terhadap A. Hassan yang begitu luhur, “Hanyalah hati yang ikhlas yang dapat mengucapkan pidato semacam ini, karena ikhlasnya itulah Hamka menyadari bahwa olok-olok A. Hassan bukan sentiment pribadi, tetapi karena ikhlas jua adanya.” *** Amat menarik kalau kita perhatikan polemik antar A. Hassan dan Hamka. Dalam masalah kebenaran yang diyakini, keduanya bisa saling kritik walau dengan sepedas apapun dan itu merupakan hal wajar. Namun, semua itu tidak sampai membuat masing-masing menjatuhkan lawan polemiknya, hingga memicu dendam membara, merusak persaudaraan dan kehilangan rasionalitas. Memang benar kata Ridwan Saidi, hanya ulama yang berhati ikhlas yang mampu bersikap seperti keduanya.*/Mahmud Budi Setiawan Rep: Admin Hidcom Editor: Cholis Akbar

Agenda Belajar Malam " Fiqih " SMP IT Insan Kamil Batusangkar

Penampilan Siswa Siswi SMP IT Insan Kamil dalam Lomba Telling Story Se -Sumatera barat